Antara Spesialis, Generalis, dan Jenama dalam Menulis

Manistebu.com | JIKA hendak membaca tinjauan terhadap film A Man Called Ahok atau Hanum dan Rangga secara objektif atau paling tidak profesional, tentulah saya memilih penulis dengan jenama (merek diri) yang sudah melambung sebagai penulis resensi film. Sebut saja di Tempo ulasan film dari Leila S. Chudori atau Mayong Suryo Leksono tak pernah saya lewatkan untuk mengambil keputusan sebagai seorang “sufi” alias penyuka film.

Kalaupun saya membaca semacam bocoran (spoiler) dari teman-teman di medsos yang juga mengulas film tersebut, sekadar hiburan saja dan melihat dari sudut pandang penonton. Maka dari itu, perdebatan dan perseteruan tentang film seperti AMCA dan HR wajar sangat riuh terjadi di antara pengulas film amatiran, bahkan ditimpali dengan komentar caci maki.

Dalam tulisan ini saya tak hendak membahas perdebatan dan perseteruan antarkubu pendukung kedua film itu. Saya sendiri belum menonton film salah satunya.

Ini khusus tentang menulis. Bahwa seorang penulis yang spesialis memang relatif lebih mudah dikenali dan diakui bobot tulisannya, bahkan mungkin dinanti-nantikan daripada penulis “dadakan”. Lalu, apakah spesialis itu sangat penting untuk pemosisian jenama (bahasa Inggrisnya: personal branding) penulis di bidang tertentu?

Saya mengutip dulu tiga paragraf esai “Kesatria” karya Mahbud Djunaidi berikut ini yang tak pelak mengundang senyum.

Sejak muda saya tidak pernah bisa bermain bola. Ini membuat perasaan rendah diri, seakan-akan kaki saya Cuma sebelah. Seringkali saya duduk termenung di tepi lapangan, terheran-heran mengenang nasib. Kadangkala ada juga teman yang berbaik hati mengajak partisipasi. Tentu saja bukan ikut main, melainkan dipersilakan jaga sepeda.

Orang sekarang tentu menyebut ajakan itu bukan partisipasi, melainkan mobilisasi, tapi saya tidak ambil pusing. Sudah jadi adat dunia barangkali, sebagian kebanyakan dan sebagian lagi kesedikitan. Melawan ini berarti melawan status-quo, mengusik ketenteraman.

Kekurangan saya itu terbawa terus hingga hari ini, termasuk ke dunia tulis-menulis. Selaku penulis, saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ihwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul. Sebetulnya, saya ini ingin meningkat jadi penulis spesialis, seperti seorang kenalan yang khusus menulis bidang pajak. Begitu seringnya ia menulis ihwal pajak, bukan saja para pembacanya muak dan gelisah, tapi juga kenalan saya itu menjadi senewen.

Meskipun Mahbud mengaku sebagai generalis, namanya sebagai sastrawan dan jurnalis era 1960-an melambung dan menancap di benak para penulis kawakan Indonesia. Ia disebut pendekar pena dengan kemampuan serbabisa dalam hal menulis hingga Presiden Soekarno pun sangat terkesan dengannya. Mahbud dikenal menulis esai dengan gaya satire dan humor yang kental.

Ia mampu menghubungkan sesuatu yang tidak ada hubungannya menjadi berkait erat. Itulah kehebatan seorang penulis apabila diberi kapling untuk menata kata dan membangun rumah wacana. Ia menjadi arsitek sekaligus pengembang yang membuat rumah memikat.

Jadi, pandangan apakah seorang penulis harus spesialis atau harus generalis bagi saya dua-duanya adalah benar. Sewaktu lulus kuliah dan bergairah menulis apa pun, saya juga menulis soal politik, budaya, hingga pendidikan. Tak ada pikiran untuk disebut ahli di bidang tertentu, yang penting menulis.

Lalu, kefokusan itu datang dengan sendirinya karena saya sehari-hari bergulat di bidang penerbitan buku sehingga menjadi magnet yang menarik perhatian saya. Apalagi, dunia perbukuan 1990-an sampai 2000-an sarat dengan dinamika, ditimpali juga oleh gejolak dan krisis 1998.

Sampai-sampai kemudian oleh Muhidin M. Dahlan, dalam bukunya Inilah Esai, saya meskipun disebut hanya sekali digolongkan esais bidang perbukuan. Memang itu yang terjadi sehingga tahun 2000 saya sempat menyabet juara I lomba penulisan artikel dalam rangka 50 tahun Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia)—asosiasi penerbit tertua di Indonesia. Selanjutnya, jenama diri saya sebagai penulis tidak dapat dipisahkan dari topik perbukuan meskipun saya juga menulis buku anak, buku pengembangan diri, buku bisnis, buku religi, dan buku pendidikan.

Namun, sejatinya saya ini generalis, baik generalis topik maupun generalis jenis. Generalis topik itu artinya saya fleksibel menulis apa pun. Soal ini, saya pernah mengisi satu rubrik di media daring yang khusus membahas soal kopi. Saya juga pernah menjadi kontributor tulisan untuk sebuah majalah internal di Kementerian Perdagangan.                                                                                                     Dalam hal generalis jenis, saya menulis fiksi, nonfiksi, dan faksi. Saya menulis puisi, cerpen, novel. Saya menulis makalah ilmiah, buku ajar, buku referensi, esai populer, berita, feature, dan hasil wawancara. Saya juga menulis memoar, biografi, dan autobiografi. Gado-gado sehingga sering mengkhawatirkan para penganut spesialis tentang pemosisian jenama yang dianggap tidak fokus.

Ternyata menulis itu seperti candu yang membuat orang seperti saya mengalami kenikmatan tersendiri dan selalu tertantang terhadap “rasa baru” dalam menulis. Menulis apa pun patut dicoba, tetapi bukan sekadar coba-coba.

Nah, di Kompasiana tidak dapat dimungkiri tulisan saya terbanyak adalah tentang dunia penulisan-penerbitan. Saya mungkin diposisikan oleh Redaktur Kompasiana sebagai orang yang konsisten menulis di satu bidang.  Namun, sering juga saya jenuh menulis tentang menulis atau tentang buku-buku. Sekali-kali saya keluar dari tempurung itu dan menulis hal lain meskipun tidak diganjar “artikel utama”.

Jenama sebenarnya dapat disematkan pada diri seorang penulis dengan “satu pukulan atau satu tembakan mematikan” yaitu karya. Cukup 1 karya yang memengaruhi, mengejutkan, atau membuat decak kagum publik pembaca maka seseorang akan dikenal sebagai penulis atau pakar di bidang tertentu. Karena itu, kumpulkanlah energi untuk membuat karya terbaik itu yang kata orang disebut master piece.

Pepatah asing ini mungkin tepat: be a flamingo in a flock of pigeons. Di antara penulis kebanyakan dan keadaan yang biasa-biasa saja, seseorang harus tampak berbeda. Perbedaan itu hanya berdaya dilakukan dengan karya, bukan dengan kejemawaan.[]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.