Manistebu.com | Diksi artinya pilihan kata. Boleh juga dianggap sebagai keterampilan seseorang dalam memilih kata saat berkomunikasi, baik tertulis maupun lisan. Kemampuan memilih kata sangat berhubungan dengan perbendaharaan kata-kata seseorang dan pemahamannya terhadap makna.
Meskipun seseorang memiliki kosakata yang kaya atau memadai, percuma saja jika ia tidak memahami makna sesungguhnya. Alhasil, ketika kata-kata itu digunakan di dalam kalimat, maknanya menjadi menyimpang dari maksud sebenarnya.
Kekeliruan memilih kata ternyata umumnya karena pengguna atau penulis salah sangka terhadap kata tersebut. Salah sangka diperparah karena pemakaian yang terus berulang, termasuk di media-media yang dibaca banyak orang. Akibatnya, kemudian terjadi salah kaprah.
Tulisan ini menampilkan beberapa kata yang kerapkali salah dipilih oleh pengguna atau penulis. Arti kata tersebut menjadi kebalikannya atau tidak sesuai dengan maksud pengguna/penulis.
Rubah
Lidah banyak orang Indonesia sudah terbiasa mengucap kata rubah dan merubah. Demikian pula ketika menulis, kata merubah digunakan alih-alih mengubah. Kata dasar yang dimaksud sebenarnya adalah ubah, bukan rubah. Rubah adalah sebutan untuk binatang sejenis anjing, bermoncong panjang, makanannya daging, ikan, dan sebagainya (Canis vulpes).

Acuh
Acuh menjadi kata yang paling sering digunakan secara keliru. Pengguna atau penulis menyangka bahwa arti kata acuh sama dengan tidak peduli. Salah!
Acuh makna sebenarnya adalah ‘peduli’. Adapun ‘tidak peduli’ berarti sama dengan ‘tidak acuh’ atau dalam ragam cakapan disebut cuek. Coba sebutkan syair lagu apa sajakah yang menggunakan kata acuh sama dengan ‘tidak peduli’.

Bergeming
Kata yang juga disalahsangkai adalah bergeming. Makna sebenarnya bergeming adalah ‘diam saja’ atau ‘tidak bergerak sedikit pun’. Banyak orang menyangka sebaliknya. Jadi, kalau hendak menyatakan seseorang yang tetap kukuh pada pendiriannya, kalimatnya seperti ini:
Ia bergeming dengan keputusannya.
Sebaliknya, tidak bergeming artinya sama dengan ‘goyah’ atau ‘bergerak/berubah’.
Mawas Diri
Frasa atau kelompok kata mawas diri sebenarnya juga salah kaprah. Frasa yang benar adalah wawas diri yang sama maknanya dengan ‘introspeksi’. Justru kata mawas malah jadi membingungkan karena artinya sama dengan ‘orang utan’. Kalau ditulis mawas diri, berarti sama dengan ‘orang utan sendiri’.
Adapun kata wawas diri diturunkan menjadi mewawas diri maknanya adalah ‘melihat (memeriksa, mengoreksi) diri sendiri secara jujur’.

Jengah
Banyak orang mengira kata jengah sama dengan bosan, segan, atau tidak enak hati, padahal bukan itu maknanya. Jengah sama dengan ‘malu’ atau ‘kemalu-maluan’. Jadi, jangan tuliskan: Saya sudah jengah menunggunya karena makna sebenarnya menjadi tidak tepat.
Usah
Kata usah maknanya adalah ‘penting’. Jadi, frasa tidak usah maknanya ‘tidak penting’. Di dalam syair lagu, kata ‘tak’ sering dihilangkan sehingga muncul kalimat seperti ini: Usah kaukenang lagi yang seharusnya Tak usah kaukekang lagi.
Masif
Kata masif kerapkali digunakan berhubungan dengan makna ‘luas’. Contoh kalimat: Persebaran COVID-19 terjadi secara masif. Kata masif makna sesungguhnya adalah ‘utuh-padat (seperti batu), kuat, kukuh, dan murni’. Jadi, tidak terselip makna ‘luas’. Anda dapat menggunakan kata masif seperti contoh berikut: Pemikiran keliru itu sudah masif menghunjam benak para mahasiswa. Artinya, pemikiran keliru sudah begitu kuat dan kukuh mempengaruhi mahasiswa.
Haru Biru
Orang menyangka haru biru bermakna haru yang sangat mendalam, padahal bukan. Makna sebenarnya haru biru adalah ‘kerusuhan; keributan; kekacauan; huru-hara’. Jadi, kalau Anda merasa romantis menggunakan frasa haru biru, artinya justru jauh dari romantis.
Senonoh
Kata ini sebenarnya selalu muncul dengan kata ‘tidak’ atau ‘tak’ yaitu ‘tidak senonoh’ atau ‘tak senonoh’. Kata senonoh bermakna sopan atau patut. Jadi, sebenarnya kata ini kata yang berkonotasi baik. Kalau ada yang memuji seseorang, “Wah, tingkah lakunya sangat senonoh!”
Itu berarti tingkah lakukan sopan dan patut. Namun, di benak kita pasti sudah tersirat makna yang tidak pantas. Hehehe.
Soal salah sangka terhadap diksi ini juga menjadi perhatian para editor. Sang editor menjadi “penjaga gawang” sebelum naskah diterbitkan sehingga ia akan mengganti kata-kata tersebut sesuai dengan makna yang sebenarnya. Perihal diksi ini akan saya bahas di dalam kursus daring Penyuntingan Bahasa yang akan diselenggarakan pada 4 s.d. 5 April 2020 melalui kanal Grup WA eksklusif.


Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.