Orang di negara lain sudah merespons gpt-3, kita di sini masih sibuk merespons klepon.
Bambang Trim
Manistebu.com | Isu tentang komputer supercerdas semacam Deep Blue menggantikan peran penulis dalam menghasilkan karya tulis pernah santer saya dengar beberapa tahun lalu. Ya, ada kisah heroik tentang superkomputer bernama Deep Blue yang dirancang IBM melawan grand master catur dunia, Gary Kasparov.
Tarung catur pertama dilakukan di Philadelphia tahun 1996, Kasparov menang. Tarung kedua dilakukan di New York City tahun 1997 dan pemenangnya adalah Deep Blue.
Lalu, muncullah teknologi text generator menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence) bernama Generative Pretraining Transformer (GPT). Program ini dirintis oleh OpenAI, sebuah lembaga riset nonprofit di bidang kecerdasan buatan, yang berdiri tahun 2015. GPT-2 dirilis tahun 2017, lalu tiga tahun kemudian GPT-3 dirilis pada Juni 2020.
Ada 175 miliar parameter yang dilatihkan di dalam GPT-3 sehingga ia mampu “memprediksi” sebuah gagasan penulisan dan terjemahan dari sebuah teks dengan sangat mengesankan. Bayangkan jika Anda ingin menghasilkan sebuah puisi sekelas ciptaan Sapardi Djoko Damono, GPT akan melakukannya untuk Anda.
Alih-alih menjadi sebuah kemajuan bagi kecerdasan komputer yang mengesankan, GPT adalah sebuah ancaman bagi profesi penulis di dunia ini dan ancaman lebih besar bagi terjadinya disinformasi dan plagiarisme takkentara. Pembaca sulit memprediksi bahwa sebuah karya tulis adalah buah dari kerjaan GPT.
Saya memang tidak dapat membayangkan jika kekuatan GPT-3 saja sudah seperti ini, bagaimana dengan kekuatan pada generasi selanjutnya? Hanya dalam tempo tiga tahun dari kemampuan dilatih dengan 1,5 miliar parameter (GPT-2), GPT-3 sudah dilatih dengan 175 miliar parameter.
Ya, profesi sebagai penulis menjadi “rentan” karena GPT-3 mampu mengimbangi peran manusia menciptakan sebuah karya tulis yang bermutu–termasuk dalam penggunaan perasaan dan pikiran untuk berbahasa. Mungkin kita masih percaya bagaimana pun sang mesin itu tidak dapat menggantikan pikiran-perasaan manusia yang sudah menjadi karunia dari Sang Maha Pencipta.
Hanya fakta-fakta uji coba GPT-3 yang mampu memprediksi dan meniru teks-teks dari para penulis kelas dunia sejatinya sangat mengkhawatirkan, apalagi jika digunakan untuk kejahatan. Seorang bukan penulis dapat saja tiba-tiba menjadi penulis andal dengan memanfaatkan teknologi ini. Platform-platform menulis bakal dibanjiri “tulisan bagus” karya GPT tanpa dapat terdeteksi.
Mungkin bersyukurnya teknologi ini masih tersedia dalam bahasa Inggris. Namun, bukan berarti kita di Indonesia tidak bakal kena imbasnya karena teks dalam bahasa Inggris sekarang juga sangat mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Jadi, “Belanda sudah semakin dekat” untuk para penulis, termasuk di Indonesia.
Bacaan Lebih Lanjut:

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.