Cimahi, Manistebu.com | Tiga dekade lalu, sangatlah sulit menyatakan diri sebagai penulis. Kini, dunia terbalik ketika seseorang dengan mudah dapat mencetuskan dirinya sebagai penulis. Penulis pun lahir dari rahim ibu teknologi digital. Aneka sebutan penulis muncul yang dulu tak pernah dikenal: penulis blog, penulis medsos, penulis jurnalisme warga, penulis konten, dan banyak lagi. Para penulis juga lahir dari pelatihan-pelatihan yang semakin meluas dan masif.
Meskipun begitu, profesi penulis masih memberikan gengsi tersendiri. Akan tetapi, tidak semua penulis merasa berbahagia dengan pencapaiannya dari sisi penghargaan dan finansial. Lagu lama sering terdengar sumbang dan fals—tak seindah lagu-lagu Doel Sumbang dan Iwan Fals. Penulis tidak terlalu dihargai di negeri ini.
Memang tidak semua penulis itu berharga. Jika diibaratkan dengan logam, ada penulis emas, penulis perak, penulis perunggu, dan penulis imitasi alias kaleng-kaleng. Jika diibaratkan perhiasan emas, ada penulis 24K, ada penulis 18K, atau penulis karatan, hehehe.
Mana yang patut dihargai dan mana yang tidak tentu sudah dapat diterka. Namun, memang ada penulis emas, bahkan penulis platinum yang tidak dihargai atau mendapat tempat sebagaimana mestinya. Mungkin memang ia kurang beruntung atau sistem di negara ini tidak memungkinkan orang-orang seperti itu mencuat.
Duka mendalam jika ada penulis berharga kemudian memutuskan berhenti menulis bukan karena ia tiada. Ia berhenti menulis karena kecewa. Boleh jadi kecewa kepada pembaca, kecewa kepada penerbit, kecewa kepada editor, kecewa kepada pemerintah, atau kecewa kepada dirinya sendiri. Tentu penulis yang berhenti menulis berdampak kerugian pada budaya.
Menjadi penulis sering bukan muncul sebagai cita-cita. Ia datang begitu saja menggerakkan perasaan dan pikiran dengan kata-kata. Karena itu, penulis di Indonesia bukanlah sebuah profesi yang kukuh dengan berbagai atribut keprofesian yang jelas. Tidak ada seragam khusus penulis sehingga polisi, satpam, tentara, dokter, pemadam kebakaran, sekretaris, arsitek, dan lain-lain juga dapat menjadi penulis.
Samuel Johson, penulis kenamaan, pernah berkata, “Tidak ada seorang pun, kecuali si bebal, yang menulis bukan karena uang.” Kata-kata ini menurut Herman Hotlz boleh jadi berupa sindirian terhadap para penulis yang mendewakan uang atau boleh jadi juga menggambarkan kondisi para penulis yang memprihatinkan. Penulis bebal adalah penulis yang tidak mementingkan uang dan penghargaan saat menulis. Ia menulis saja. Lalu, untuk apa dia menulis?
Menulis untuk keabadian, kata Pramoedya. Menulis untuk bangsaku, kata mereka yang nasionalis. Menulis untuk “bang saku”, kata mereka yang oportunis. Menulis adalah bisnis, kata mereka yang pragmatis. Menulis untuk bahagia, kata mereka yang filosofis. Menulis untuk cinta, kata mereka yang romantis. Menulis untuk perjuangan, kata mereka yang kritis. Menulis untuk diri sendiri, kata mereka yang egois.
Kalau saya, menulis untuk apa pun. Ya, menulis untuk bisnis; menulis untuk eksistensi; menulis untuk ekspresi diri, dan menulis untuk kebahagiaan.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.