Manistebu.com | Tanpa naskah penerbit memang takkan berdaya karena naskah merupakan bahan baku utama industri penerbitan. Naskah diperoleh dari para pengarang/penulis, lalu ditimbang untuk diterbitkan. Karena itu, muncullah kriteria kelayakan naskah.
Ada tiga keputusan yang diberikan penerbit terhadap naskah yang tentu disampaikan kepada penulis. Pertama, naskah akan diterbitkan tanpa revisi yang berarti lolos secara cantik. Kedua, naskah akan diterbitkan dengan catatan harus direvisi sehingga naskah kembali kepada penulis. Ketiga, naskah ditolak langsung karena tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
Lalu, apa saja kriteria kelayakan sebuah naskah untuk diterbitkan? Kriteria atau unsur yang dinilai ini juga menjadi acuan penyusunan instrumen penilaian naskah buku dalam kegiatan sayembara atau program penilaian yang diselenggarakan pemerintah atau lembaga lain.
Lima Unsur Penilaian
Berikut lima unsur baku yang dinilai dari sebuah naskah buku.
1. Legalitas dan Norma
Legalitas berhubungan dengan kode etik yang dijunjung dalam penulisan naskah yakni penghormatan terhadap karya cipta orang lain. Hal yang dinilai di dalam naskah adalah seputar pengutipan dan penggunaan gambar yang sesuai dengan kaidah, tidak menjurus pada plagiarisme.
Adapun norma berkaitan dengan kepatutan sebuah naskah dipublikasikan kepada publik. Naskah tidak boleh melanggar norma, seperti mengandung penistaan SARA, ujaran kebencian, pornografi, dan sadisme. Dalam konteks negara Indonesia, naskah dipastikan tidak melanggar Pancasila serta peraturan perundangan yang berlaku.
Unsur legalitas dan norma termasuk unsur yang “mematikan” karena sifatnya ibarat pepatah “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Pelanggaran legalitas atau norma ialah setitik nila yang dapat merusakkan keseluruhan isi naskah.
2. Materi
Sebenarnya unsur legalitas dan norma tercakup di dalam materi. Akan tetapi, agar para penilai lebih fokus maka dipisahkan dari materi.
Unsur materi di sini mencakup (1) keperluan atau kepentingan terkait dengan gagasan; (2) kebenaran terkait dengan keilmuan atau kelogisan, termasuk data dan fakta; (3) kemutakhiran atau kebaruan, terutama terkait dengan perkembangan ilmu dan teknologi; (4) ketepatan terkait dengan maksud dan tujuan penulisan; (5) kelengkapan terkait dengan bobot keseluruhan materi.
Unsur materi dinilai dengan bobot paling tinggi sehingga sangat memengaruhi keputusan penilaian. Materi sangat berhubungan dengan gagasan dan pengembangan gagasan sehingga ia menjadi pembeda antara satu naskah dan naskah lainnya meskipun membahas hal yang sama.
3. Penyajian
Unsur penyajian berhubungan dengan kemudahan suatu naskah dipahami oleh pembaca sasaran. Hal ini juga berhubungan dengan gaya penulisan yang diterapkan oleh penulis di dalam naskahnya. Karena itu, penilaian pada bagian ini memperhatikan ragam naskah dan laras bahasa yang digunakan.
Sebagai contoh ragam sastra menghasilkan naskah dalam bentuk puisi/sajak, cerpen, novel, dan drama. Laras bahasa yang digunakan adalah bahasa sastra dengan ciri yang khas. Bahasa sastra bersifat lentur terhadap kaidah kebahasaan. Karena itu, dikenali juga beberapa penyimpangan kebahasaan pada karya sastra.
Berbeda halnya dengan karya nonfiksi dari jenis ragam ilmiah. Ragam ini menggunakan bahasa yang taat asas terhadap kaidah. Ragam ilmiah menghasilkan naskah-naskah yang menggunakan bahasa baku, tetapi juga tidak harus kaku.
Cakupan unsur penyajian di dalam penilaian naskah, yaitu (1) ketepatan struktur/sistematika naskah terkait dengan pola naskah atau alur naskah; (2) kejelasan gaya bahasa terkait dengan kemudahan untuk dipahami; (3) keterpautan antarbagian naskah (koherensi); (4) kesinambungan (keberlanjutan antarbagian) dan ketuntasan.
4. Bahasa
Bahasa terkadang dimasukkan ke dalam unsur penyajian, tetapi dapat pula dipisah secara khusus apabila kriteria bahasa dianggap kompleks. Sebagaimana telah disampaikan bahwa ragam naskah berhubungan dengan laras bahasa yang mesti dipahami oleh para pengarang/penulis sebagai penghasil naskah.
Ada sifat-sifat laras bahasa yang harus dikenali seperti lentur dan taat asas. Hal ini berhubungan dengan kaidah kebahasaan yang dapat dirujuk, seperti Ejaan Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Penulis juga dapat merujuk referensi kebahasaan yang standar seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Penilaian bahasa mencakup (1) diksi (pilihan kata); (2) tata tulis atau ejaan; (3) tata bentuk atau kata bentukan (berimbuhan); (3) tata kalimat; dan (4) tata paragraf. Kaidah kebahasan tidak harus diterapkan secara kaku, terutama untuk karya-karya fiksi atau karya-karya yang bersifat populer. Pada karya fiksi atau karya populer terkadang digunakan ragam cakapan dan juga diksi slang (bahasa gaul).
5. Desain (Elemen Nonteks)
Unsur terakhir yang dinilai pada sebuah naskah adalah desain naskah yang mencakup elemen-elemen nonteks, seperti ilustrasi, tabel, grafik, bagan, foto, dan infografik. Penggunaan elemen nonteks harus sesuai atau selaras dengan teks. Dalam hal ini juga dinilai navigasi di dalam naskah.
Apa itu navigasi? Kemudahan naskah untuk dideteksi dari segi perbedaan antarbagian (bab, subbab, dan sub-subbab). Karena itu, harus jelas perbedaan format bab dan subbab, misalnya dari segi penggunaan fon (jenis dan ukuran).
Penulis yang sudah piawai dalam menggunakan aplikasi pengolah kata seperti Microsoft Word semestinya sudah paham tentang navigasi ini. Ia akan menggunakan fitur paragraph style untuk membedakan antarbagian naskah. Begitu pula saat menyusun rujukan dan materi seperti indeks, ia dapat menggunakan fitur di dalam MS-Word tersebut sehingga memudahkan penilai atau editor mengecek hubungan antarbagian naskah. Inilah yang disebut navigasi.
Beberapa penerbit menetapkan format pengetikan naskah (dalam bentuk digital) semata-mata untuk memudahkan navigasi pada naskah. Dalam naskah sudah menjadi buku, penilaian terhadap navigasi juga dilakukan pada daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, pengutipan sistem catatan di dalam teks, glosarium, daftar pustaka, dan indeks.
Hubungan dengan Penyuntingan
Kelima unsur yang telah diuraikan sebelumnya menjadi dasar akuisisi naskah atau pemerolehan naskah yang dilakukan oleh editor akuisisi. Tugas editor akuisisi di antaranya memutuskan kelayakan sebuah naskah untuk diterbitkan.
Selanjutnya, kelima unsur tersebut juga menjadi dasar penyuntingan naskah yaitu penyuntingan mekanis dan penyuntingan substantif. Penyuntingan mekanis berfokus pada unsur bahasa dan unsur desain. Adapun penyuntingan substantif berfokus pada unsur legalitas dan norma, materi, dan penyajian.
Penyuntingan substantif memungkinkan munculnya keputusan (1) pengurangan atau pemotongan bagian naskah yang tidak diperlukan; (2) penambahan atau penulisan bagian baru yang diperlukan; dan (3) penulisan ulang dalam bentuk berubahan sistematika/struktur naskah dan perubahan di tingkat paragraf.
***
Tulisan ini disajikan berdasarkan pengalaman penulis turut menyusun instrumen penilaian pada penilaian buku pendidikan, baik buku teks maupun buku nonteks di Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Selain itu, penulis juga meramu berdasarkan keilmuan penerbitan (publishing science) serta pengalaman selama lebih dari 25 tahun berkecimpung di industri penerbitan.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Alhamdulillah mendapat pencerahan tentang penyuntingan mekanis dan substantif, terima kasih Pak Bambang